Penaklukan Sriwijaya terhadap Jawa: Mitos atau Fakta Sejarah?

Penaklukan Sriwijaya terhadap Jawa: Mitos atau Fakta Sejarah?



Pendahuluan

Sejarah Nusantara mencatat Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang berpengaruh di Asia Tenggara. Dominasi Sriwijaya dalam perdagangan dan hubungan diplomatik membuatnya menjadi kekuatan utama di kawasan ini selama lebih dari enam abad. Namun, klaim bahwa Sriwijaya pernah menaklukkan Jawa masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Bahkan, ada argumen yang menyatakan bahwa Sriwijaya mungkin tidak pernah ada sebagai kerajaan yang terpusat, dan yang lebih mungkin adalah eksistensi Kerajaan Melayu yang memiliki pengaruh lebih nyata. Artikel ini akan menganalisis hubungan antara Sriwijaya dan Jawa berdasarkan bukti sejarah yang tersedia untuk menentukan apakah klaim tersebut memiliki dasar historis yang kuat atau sekadar asumsi.

Sriwijaya atau Kerajaan Melayu?

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Sriwijaya bukanlah sebuah kerajaan yang memiliki struktur pemerintahan terpusat, melainkan lebih merupakan konfederasi maritim atau jaringan perdagangan yang dipimpin oleh entitas politik yang berbeda-beda. Sebaliknya, bukti yang lebih jelas menunjukkan eksistensi Kerajaan Melayu yang lebih nyata dibandingkan Sriwijaya, sebagaimana yang tercatat dalam berbagai sumber Tiongkok dan prasasti-prasasti di Nusantara.

Sriwijaya sebagai Kerajaan Maritim

Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13 M) berkembang sebagai pusat perdagangan dan agama Buddha yang mengendalikan jalur pelayaran utama di Asia Tenggara. Keberadaannya didukung oleh berbagai prasasti, seperti Prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang mencatat ekspedisi militer untuk memperluas pengaruhnya. Namun, ekspansi ini lebih banyak terjadi di wilayah maritim dan bukan dalam bentuk ekspansi daratan yang sistematis seperti yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa.

Sriwijaya memiliki hubungan erat dengan jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan India, Tiongkok, dan dunia Arab. Sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya memiliki kepentingan besar dalam menjaga kestabilan jalur pelayaran di Selat Malaka dan Laut Jawa. Dominasi ini membuat Sriwijaya memiliki pengaruh luas, tetapi lebih dalam bentuk hegemoni ekonomi dibandingkan ekspansi teritorial.

Hubungan Sriwijaya dan Jawa dalam Sejarah

1. Konflik dengan Kerajaan Medang (Abad ke-8 hingga ke-10 M)

Prasasti Laguna di Filipina (abad ke-10) menyebutkan Raja Medang, yang mungkin menunjukkan pengaruh Medang di luar Jawa.

Berdasarkan Prasasti Kalasan (778 M), Wangsa Syailendra yang dihubungkan dengan Sriwijaya sempat berkuasa di Jawa Tengah, tetapi hal ini lebih berkaitan dengan hubungan dinasti daripada ekspansi militer Sriwijaya terhadap Jawa.

Serangan Sriwijaya ke Jawa tidak pernah tercatat dalam prasasti Jawa, menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat akan dominasi Sriwijaya di wilayah tersebut.

Beberapa spekulasi mengenai konflik antara Sriwijaya dan Medang muncul karena persaingan dagang. Medang yang mulai berkembang sebagai kekuatan agraris mencoba menyaingi dominasi Sriwijaya dalam perdagangan maritim. Namun, konflik ini lebih berupa persaingan ekonomi daripada invasi militer langsung.

2. Ekspansi Medang ke Asia Tenggara

Prasasti Ligor B (abad ke-8) menyebutkan seorang penguasa dari Jawa yang memiliki pengaruh di Semenanjung Malaya, menunjukkan kemungkinan ekspansi Medang ke wilayah tersebut.

Prasasti Sdok Kak Thom (abad ke-11) di Kamboja mengindikasikan adanya pengaruh penguasa dari Jawa dalam dinamika politik regional.

Prasasti Vat Samrong (abad ke-10) menunjukkan hubungan antara Medang dan kerajaan-kerajaan di Indocina.

Bukti ini menunjukkan bahwa Medang tidak hanya bertahan dari dominasi Sriwijaya, tetapi juga mampu memperluas pengaruhnya ke luar Jawa.

Selain itu, catatan dari Dinasti Tang di Tiongkok menyebutkan hubungan diplomatik antara Medang dan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara, mengindikasikan bahwa pengaruh Medang lebih luas daripada yang sebelumnya diperkirakan.

3. Kekosongan Kekuasaan di Sriwijaya (Abad ke-8 hingga ke-10, dan Abad ke-11 hingga ke-13 M)

Pada abad ke-8 hingga ke-10, Sriwijaya mengalami periode kekosongan kekuasaan yang diduga akibat konflik internal serta perubahan dinamika perdagangan di Asia Tenggara.

Tidak ada catatan yang jelas mengenai penguasa Sriwijaya selama periode ini, yang menunjukkan adanya fragmentasi politik yang besar.

Setelah serangan Chola pada tahun 1025 M, Sriwijaya kembali mengalami kemunduran yang signifikan dan kehilangan banyak wilayah kekuasaannya.

Dalam periode ini, beberapa kerajaan seperti Dharmasraya dan Malayu muncul sebagai penerus Sriwijaya di Sumatra, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan sebesar Sriwijaya sebelumnya.

Pengaruh Wangsa Syailendra sebagai Raja Bawahan di Sriwijaya

Selama kekosongan kekuasaan di Sriwijaya, Wangsa Syailendra memainkan peran penting dalam menjaga kesinambungan pengaruh Sriwijaya di kawasan Asia Tenggara.

Wangsa Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya bertindak sebagai raja bawahan yang memastikan kesinambungan ekspansi maritim Sriwijaya, meskipun pusat kekuasaannya melemah.

Hal ini memungkinkan jaringan perdagangan dan hubungan diplomatik Sriwijaya tetap bertahan meskipun kerajaan ini mengalami kemunduran politik.

Catatan Tiongkok tentang Krisis di Sumatra

Sumber dari Tiongkok mencatat bahwa pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, terdapat dua utusan dari Nusantara yang datang ke Tiongkok: satu dari Jawa dan satu dari Sumatra.

Ketika mereka hendak pulang, utusan dari Sumatra ditahan karena wilayahnya sedang dilanda penghancuran besar-besaran.

Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu, Sriwijaya atau entitas politik di Sumatra mengalami kehancuran besar yang kemungkinan disebabkan oleh konflik internal atau invasi dari luar.

Analisis dan Kesimpulan

Berdasarkan berbagai bukti sejarah yang tersedia, klaim bahwa Sriwijaya pernah menaklukkan Jawa tampaknya tidak didukung oleh fakta yang kuat. Lebih dari itu, ekspansi Medang ke Asia Tenggara menunjukkan bahwa kekuatan politik di Jawa memiliki pengaruh besar dalam dinamika regional. Periode kekosongan kekuasaan di Sriwijaya, ditambah dengan peran Wangsa Syailendra sebagai penguasa bawahan, semakin menegaskan bahwa dominasi Sriwijaya lebih bersifat maritim dan perdagangan dibandingkan ekspansi daratan ke Jawa. Bahkan, ada kemungkinan bahwa yang sebenarnya eksis adalah Kerajaan Melayu, bukan Sriwijaya.

Daftar Pustaka

Sumber Prasasti:

Coedès, G. (1918). Le royaume de Çrīvijaya. Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient, 18(6), 1-36.

Damais, L. C. (1952). Etudes d'épigraphie indonésienne III: Dates des inscriptions de Sriwijaya. Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient, 46, 45-88.

Casparis, J. G. de. (1956). Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D. Jakarta: Bhratara.

Boechari. (1986). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

 Wolters, O. W. (1967). Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya. Ithaca: Cornell University Press.

Wheatley, P. (1983). Nagara and Commandery: Origins of the Southeast Asian Urban Traditions. Chicago: University of Chicago Press.

Ferrand, G. (1922). L'empire sumatranais de Çrīvijaya. Journal Asiatique, 11(1), 1-46.

Coedès, G. (1968). The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.

Miksic, J. (2013). Singapore & The Silk Road of the Sea, 1300–1800. Singapore: NUS Press.

Munoz, P. M. (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet.

Hall, K. R. (2011). A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100-1500. New York: Rowman & Littlefield.

Jordaan, R. E. (2006). Why the Śailendras were not a Javanese dynasty. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 162(4), 491-497.

Wisseman Christie, J. (1995). State Formation in Early Maritime Southeast Asia: A Consideration of the Theories and the Data. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 151(2), 235-288.

[copas fb Rakai Magelang]

Postingan populer dari blog ini

Analisis Pertanggalan Prasasti Wanua Tengah III